Welcomce to Zona d'Zizta. Enjoy!. Powered by Blogger.

Joinmy Facebook

RSS

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menanti Setengah Hati yang Hilang

Aku terbangun dari tidurku mendengar jam alarmku berdering. Begitulah setiap hari, aku harus bangun dengan jam yang telah ada sejak aku berumur 7 tahun. Orang tuaku tidak sempat membangunkan aku karena kesibukan mereka masing – masing. Aku bangkit dari tempat tidur. Membuka jendela dan menghirup udara segar dari halaman rumahku. Seperti biasa, pemandangan yang terlihat adalah sebuah rumah mungil yang dimiliki oleh seorang wanita tua. Umurnya kira – kira 55 tahun. Biasanya orang2 memanggilnya dengan sebutan Mbah atau Nenek.

Ntah mengapa aku begitu tertarik dengan kehidupan nenek tersebut. Dia tinggal sebatang kara dan tidak begitu akrab dengan tetangga di sekelilingnya. Dia menghabiskan waktunya dalam kesendirian. Kadang dari jendela kamarku , aku melihatnya memandangi sesuatu yang dia taruh di atas mejanya. Aku tidak tau persis benda itu apa karena pandanganku terhalang oleh kain gerden miliknya.
Suatu hari, ada yang aneh dari nenek itu. Waktu aku melewati rumahnya bersama Anita, teman sekelasku, wanita berkulit kuning langsat tersebut memanggil kami. Aku dan Anita pun mendatangi nenek tersebut dengan perasaan heran. Ada apa nek? Tannyaku dengan suara datar. “Kalian ingin dengar ceritaku?”, nenek itu menjawab. Karena aku memang tertarik dengan kehidupan nenek tersebut, akupun langsung mengiyakannya. mana tau dengan begitu rasa penasaranku selama ini terjawab dengan mengobrol bersamanya. Namun sayang, Anita tidak bisa ikut karena ia harus buru – buru pulang ke rumah.

Aku merasa grogi saat duduk di dekatnya. Saat aku memandangi wajah yang sudah banyak kerutan itu, aku yakin bahwa dimasa mudanya nenek ini sangat cantik. Tiba – tiba ia tersenyum kepadaku. Aku kaget. Ia menanyakan namaku. “Nama kamu siapa, Nak?”. “Kisya, Nek”, jawabku terbata – bata. “mengapa engkau takut begitu melihatku?, santai saja”. Nenek itu kembali tersenyum kepadaku. Akupun tersenyum kepadanya.
“Enggkau mau mendengar ceritaku?”, nenek tersebut kembali bertanya. “Iya nek, aku ingin sekali menengar cerita nenek”, jawabku sangat antusias. Nenek tersebut menerawang ke angkasa. Dari tatapan matanya terlihat jelas ia mempunyai ingatan yang sangat tajam. “Engkau pernah patah hati?”, tiba2 nenek itu bertanya padaku. Pertanyaannya sontak membuatku bingung. “Belum pernah, mengapa nek?”, aku kembali bertanya kepadanya. “Oh, tidak, aku cuma ingin tahu saja, baguslah kalau begitu”, jawab sang nenek.

“Dahulu hidup seorang gadis bernama Latsmi”, ia memulai ceritanya. “Gadis yang masa kecilnya sangat ceria. Ia sangat disayangi oleh kedua orang tuanya. Beranjak dewasa ia pun tumbuh menjadi anak yang cerdas. Di masa remaja inilah ia menemukan cinta. Ia mulai merasakan indahnya jatuh cinta kepada lawan jenisnya. Ia menjalin kasih dengan seorang lelaki bernama Darno. Kehidupannya mulai dihiasi dengan sosok lelaki yang sangat ia cintai. Begitupun Darno, ia sangat menyayangi Latsmi. Suatu hari mereka pun pergi ke sebuah taman yang berada di ujung kota tempat mereka tinggal. Disana Darno memberi secarik kertas. “Apa ini, No?”, tanya Latsmi heran. “Buka saja, nanti engkau pasti akan tahu, Latsmi”, jawab Darno dengan simpul senyum di bibirnya. Latsmi pun membuka bugkusan tersebut dan isinya... Latsmi tersenyum. “Kapan engaku mengambil foto ini?”, tanya Latsmi kaget namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia dari raut wajahnya. “Kemarin”,jawab Darno. “Tapi engkau ingin menyimpan fotoku? Ya sudah, aku mengambil foto itu dengan susah payah, sudah berkali – kali aku ulang, tetapi tidak ada yang bagus. Hehe...” lanjut darno. “Ah, kamu bisa saja. Ini udah bagus koq. Darnoku kan tampan, hehehe.........”. merekapun melanjutkan perjalanan mereka mengitari taman tersebut.

Tidak terasa, 3 tahun sudah mereka menjalani hari2 mereka berdua. Namun di tahun2 ini ada yang berubah. Pertengkaran demi pertengkaran sering terjadi. Suatu hari, pertengkaran hebat pun tidak dapat terelakkan. Darno menganggap Latsmi tidak perhatian lagi kepadanya. Berulang kali Latsmi menjelaskan, tetapi Darno tidak percaya. Latsmi pun menganggap Darno telah mempunyai kekasih lain selain dirinya, karena Darno selalu menyalahkan Latsmi dalam suatu masalah. Latsmi menganggap Darno telah bosan ke pada Latsmi. Sampai suatu keputusan pun disepakati. Mereka berdua sepakat untuk menyudahi hubungan mereka. Ntah mengapa Latsmi setuju dengan keputusan tersebut, padahal Latsmi sangat mencintai Darno. 3 tahun tinggal kenangan. Latsmi kembali menjalani hari – harinya tanapa cinta pertamanya itu.

Suatu hari, ia kembali memikirkan Darno. Air matanya tak terbendung. Ia telah berusaha untuk melupakan pria tersebut tetapi tidak bisa. Dalam hatinya ia bertekat untuk menjalin hubungan lagi bersama Darno. Ia tidak ingin menjalin hubungan dengan pria manapun selain Darno. Keesokkan harinya ia mengunjungi rumah Darno. Tetapi rumah itu kosong, tidak berpenghuni. Tetangga sebelah mengatakan bahwa Darno dan keluarganya telah pindah, tetapi tidak tau kemana. Pipi Lasmi kembali dibanjiri oleh air mata. Sepanjang jalan ia terus menangis.

Tiga bulan telah berlalu. Sisa – sisa kesedihan Latsmi tak juga hilang. Saat ia berdiri di depan pintu rumahnya, seorang pria datang dan memberikan sebuah kertas yang sepertinya kartu undangan. Latsmi pun membukanya. Dan ternyata.... Ya, undangan pernikahan oleh Darno dan Ningsih. Undangan itu lasung lepas dari tangan Latsmi. Ia tidak menyangka lelaki yang ia cintai akan menikah dengan wanita lain. Latsmi pun bertambah sedih.

Sejak saat itu Latsmi pun mati rasa. Tidak ada yang dapat membuatnya jatuh cinta selain Darno. Tidak ada yang dapat memberikannya kenyamanan selain Darno. Setengah hatinya telah dibawa oleh Darno. Dan entah sampai kapan setengah hati yang tersisa itu bisa utuh kembali.

Hari demi hari kembali ia lewati, tetap dengan teman sejatinya, kesendirian. Tidak mudah ternyata hidup seperti ini. Latsmi yang telah lemah juga harus menghadapi gunjingan para tetangga yang menganggapnya wanita yang tidak normal. Mereka menganggap Latsmi penyuka sesama jenis-lah, simpanan pria beristri-lah, bahkan Latsmi dicap sebagai wanita perawan tua. Miris hati latsmi mendengarnya. Namun hal tersebut ia hadapi dengan senyum yang jika diartikan tentu saja bukan senyum bahagia, tetapi senyum pilu.

Semakin lama gunjingan itu semankin menghantam kekuatan Latsmi yang telah susah payah ia bangun. Ia pun tidak sanggup hidup di tengah kata-kata pedas para tetangganya. Latsmi pun memilih untuk pindah”.

Nenek itu menghentikan ceritanya, lalu ia menyeruput secangkir teh hangat yang ada di sampingnya. “Teh ini sangat bagus untuk kesehatan, jika kamu mau nenek akan membuatkannya untukmu”, tawaran yang terlihat begitu tulus dari wajah sang nenek. “Oh, tidak usah repot-repot, Nek. Barusan saya sudah minum di kedai bang ujang bersama teman saya tadi”, ucapku hati-hati agar tidak menyinggung perasaannya.
“Baiklah”, nenek itu pun meletakkan cangkir teh tersebut dan kemnali memulai ceritanya. “Latsmi pun pindah ke kota lain. Di sana dia memulai kehidupannya dari awal. Tidak jauh beda dengan kehidupannya di kota sebelumnya. Ia tetap sendiri dan sangat tertutup. Namun untung saja tetangga di tempat tinggalnya yang baru sangat ramah dan menghargainya.

Tidak terasa umur Latsmi pun menginjak kepala empat. Ia tidak mengira bahwa ia bisa hidup sendiri selama ini tanpa seorang pria yang mendampinginya. Tidak pernah hal ini ia pikirkan sebelumnya. Kembali ia menjalani hidup seperti biasa, ditemani teman sejatinya, sepi. Suatu hari ia teringat akan gambar yang diberikan oleh laki-laki yang mengisi hidupnya puluhan tahun lalu. Ternyata gambar tesebut masih tersimpan rapi di sudut lemari Latsmi. Melihat gambar tesebut, kristal beningpun kembali menghiasi sudut mata latsmi. Ia pun mengenang kisahnya besama laki-laki itu, Darno. Ada rasa yang saat ini masih tersimpan utuh untuk laki-laki itu. Rasa cinta Latsmi. Rasa yang tidak pernah ia berikan kepada laki-laki lain. Hanya melalui gambar itulah Latsmi bisa membendung rasa rindunya”.

Karena aku terhanyut dalam rangkaian cerita nenek tua itu, aku tidak sadar bahwa........ heii....... “Nenek menangis?”, tanyaku agak sedikit kaget. Nenek tua itu sontak membersihkan pipinya. “Oh, tidak tidak. Nak, besok kita lanjutkan ceritanya ya, nenek merasa letih, nenek ingin istirahat”. Walaupun terasa sedikit aneh, akupun tidak bisa berkata apa-apa lagi. “ya sudah kalau begitu saya pulang dulu ya nek, terima kasih karena nenek telah mau bercerita kepada saya”. Aku pun melangkah pergi meninggalkan rumah wanita tua itu dengan tanda tanya besar, mengapa nenek itu tiba-tiba menangis?

Tidak jauh aku melangkah meninggalkan rumah nenek itu, tiba-tidak ada seorang lelaki muda berpakaian seperti tukang pos dan memberikan sebuah amlop yang aku rasa itu adalah surat untuk nenek tersebut. “Permisi”, lelaki muda itu tersenyum kepada sang nenek yang hampir saja ingin memasuki rumah mungilnya tersebut. “Benarkah ini rumah ibu Latsmi Dewi Ningrum”, tanya lelaki itu dengan ramah.

Ada apa ini?

Kenapa aku baru...... Oh, ya Tuhan..... Apakah semua cerita tadi adalah kisah nenek itu? Kisah Latsmi? Ya, nenek itu bernama Latsmi. Latsmi Dewi Ningrum. Berarti apa yang aku lihat selama ini dari kamarku adalah bahwa nenek itu memandangi foto Darno, lelaki yang hingga saat ini ia cintai. Bahkan masa tuanya ia habiskan sendirian karena ia tidak bisa menerima laki-laki lain selain Darno !!
Aku ingin sekali menghampiri nenek itu. Ingin memeluknya. Aku bisa merasakan betapa pahitnya hidup wanita tua itu. Tapi, pintu rumah mungil itu telah tertutup rapat.
Di sudut rungan yang tidak begitu besar, duduk seorang wanita tua. Kelihatannya ia begitu penasaran terhadap sebuah amlop yang ditujukan kepadanya. Anehnya, alamat si pengirim tidak tertulis di amplop tersebut.
Ia mulai membaca isi surat yang terdapat di dalam amplop tersebut.

Salam rindu untuk Latsmi.

Dengan teliti wanita tua itu membaca surat tersebut. Dibacanya berulang kali. Dan tanpa sadar, surat itu jatuh dari tangannya.


Pagi ini cukup cerah, aku bangun dari tidurku, membuka jendela dan seperti biasa, aku bisa menebak apa yang akan ku lihat. Ya, nenek latsmi yang sedang memandangi foto seseorang, siapa lagi kalau bukan Darno. Tapi tebakanku kali ini meleset. Aku tidak melihat jendela tua itu terbuka. Jendela tua itu masih tertutup rapat.

Hingga matahari tegak di atas kepalaku, aku tidak melihat nenek Latsmi. Kemana nenek tua itu? Tanyaku dalam hati. Berulang kali aku melihat ke depan rumahku, memastikan apakah pintu rumah nenek tua itu telah terbuka, namun hasilnya sama saja dengan apa yang aku lihat tadi pagi, masih tertutup rapat. Karena rasa peneasaran ku semakin besar, aku memberanikan diri untuk mendatangi rumah nenek Latsmi. Berulang kali aku mengetuk pintunya, namun tidak ada jawaban. Ntah mengapa tanganku tiba-tiba ingin memegang pegangan pintu tua itu. Dan ternyata, pintu itu tidak terkunci. Berulang kali aku memanggil nenek tersebut, namun tidak ada sahutan. Akupun memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Nenek latsmi tidak tampak. Dengan hati-hati aku memasuki sebuah kamar yang terletak tidak jauh dari pintu masuk rumah tersebut.

Dan.......... NENEKKKKK!!!!

Darah segar mengalir dari pergelangan tangan wanita tua tersebut. Aku sangat panik. Tiba-tiba sekujur tubuhku kaku, tidak tau musti berbuat apa. Teriakan ku tadi ternyata di dengar oleh tetangga-tetanggaku. Mereka berlarian menuju rumah nenek latsmi.

Begitu banyak hal-hal yang tidak aku mengerti. Mengapa tiba-tiba nenek latsmi mengakhiri hidupnya. Mengapa wanita yang ku kenal tegar itu berbuat hal bodoh semacam itu. Jika ia merasa bosan dengan hidupnya, mengapa tidak dari dulu saja ia mengakhiri hidupnya? Mengapa setelah puluhan tahun hidup sendiri baru ia seperi ini?
Aku memasuki kamar nenek latsmi, ketika itu polisi juga sedang mengadakan pemeriksaan. Aku mendapati sebuah kertas yang telah lusuh di dekat sebuah gamabar, pikiranku tidak perlu berfikir keras untuk menebak itu gamabr siapa. Siapa lagi kalau bukan Darno. Tulisan di kertas itu sebagian telah luntur karena air atau apalah aku tidak tahu. Perlahan-lahan aku baca tulisan itu.

Tanpa sadar air mataku mengalir membaca surat tersebut. Pertanyaan ku telah terjawab sudah. Surat itu di tulis oleh Ningsih. Siapa ningsih? Ya, aku baru ingat bahwa ningsih adalah wanita yang dinikahi darno puluhan tahun lalu. Ternyata Darno menikahi Ningsih karena dipaksa oleh orang tuanya. Kematian nenek Latsmi. Dia mengakhiri hsih?. idupnya karena.......Darno. Cinta pertama wanita tua itu telah meninggal karena kecelakaan yang menimpanya seminggu yang lalu. Dan sekarang, Latsmi pun menyusulnya***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS