by. Novia Faradila
Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Begitulah sebait lagu yang ditujukan kepada sang ibu, wanita yang mengabdikan hidupnya untuk anak dan keluarga. Walau bergelut dengan kesibukan sehari-hari, ibu tidak pernah lupa untuk melimpahkan kasih sayangnya. Seperti halnya Agusniati dan Nurfatimah, pekerjaan seberat apapun tak dapat menandingi pengabdiannya kepada anak dan keluarga mereka.
Bergelut dengan panasnya minyak goreng tak membuat Agusniati menyerah. Wanita kelahiran Medan, 17 Agustus 41 tahun silam ini setiap harinya menjual berbagai macam gorengan di Pasar Selasa, jalan HR Soebrantas, Panam. Profesinya sebagai pedagang goreng telah ia geluti sejak tahun 2005 silam. Berbekal sebuah gerobak dorong, kompor, dan sebuah kuali berukuran besar, wanita yang memiliki dua anak ini mulai menjajakan gorengannya dari pukul dua siang hingga jam sepuluh atau sebelas malam.
Wanita yang akrab disapa Upik ini mengabiskan hampir seluruh hari-harinnya untuk menjual goreng. ‘’Dari pagi jam enam saya ke pasar. Habis dari pasar saya goreng tahu dan mempersiapkan segala kperluan untuk jualan. Siang kira-kira jam setengah dua baru jualan sampai jam sepulu malam’’, papar Upik.
Istirahat pada pukul dua belas malam merupakan hal biasa bagi Upik karena kesibukannya dalam berjualan. Khusus di hari Selasa, Upik bangun jam tiga pagi untuk mempersiapakan segala keperluan untuk berjualan di pagi harinya. ‘’Kalau hari selalsa saya bangun jam tiga. Hari Selasa kan pasarnya, jadi saya jualan goreng pagi-pagi dan selesai pada sore hari.
Saat ditanyakan alasanya dalam menjual goreng, Upik menjelaskan bahwa berjualan goreng merupakan caranya untuk mengisi kekosongan. ‘’Dulu ada orang yang menjual gerobaknya, lalu saya beli, dan saya mencoba untuk menjual goreng dengan gerobak itu’’, ungkapnya. Selain itu, suami Upik yang dulunya berprofesi sebagai pembuat dan pedagang boneka tidak mampu lagi untuk memenuhi permintaan pasar, karena pembuatan boneka tersebut membutukan banyak tenaga. Di saat6 itulah suami Upik tidak lagi berjualan boneka dan membantunya untuk berjualn goreng. Disinilah berdagang goreng merupakan mata pencarian utama bagi Upik dan keluarga.
Uniknya dari Upik, saat para pedagang lainnya menjual goreng dengan harga seribu rupiah, Upik masih tetap bertahan dengan harga lima ratus rupiah. Menurutnya, kalau aia menjual dengan harga murah, maka banyak orang yang akan tertarik. ‘’kalau saya jual lima ratus, biar untung tipis tapi banyak laku, jadinya kan luamyan juga penghasialn saya. Kalau dijual mahal, nanti untungnya juga bakalan segitu’’, kata Upik
Jiwa dagang upik yang telah ia bawa sejak kecil tidak membuatnya canggung dalam berjualan. Upik mengaku ia berjualan sejak kecil untuk membantu keluarganya. ‘’Dari kecil saya memang sudah terbiasa berjualan. Pergi sekolah saja saya sambil jualan. Waktu itu orang tua saya membuat rempeyek kacang, jadi saya yang membantu mereka untuk menjualnya sambil sekolah’’, jelas Upik.
Saat ditanyakan kesulitannya dalam menjual goreng, upik menjelaskanbawa tidak ada kesulitan yang berarti baginya. Namun, ada beberapa saat ketika ia harus menghadapi buruknya cuaca, atau rusaknya kompor untuk menggoreng. ‘’Sejauh ini tidak ada yang menyulitkan, namun kadang ada juga hal-hal kendala seperti hujan, atau kompor rusak. Beberapa hari yang lalu kompor saya rusak, jam lima saya baru bisa menggoreng’’.
Di taun 1987 Upik yang dulunya bercita-cita menjadi guru pernah mencoba untuk masuk dalam penerimaan guru di kampungnya, namun saying ia tidak lulus. hal tersebut lantas tidak membuat Upik patah arang. Jiwa dagang seorang Upik kembali membuatnya terjun dalam berdagang. Satu hal yang sangat dipegang oleh ibu dua anak ini. Rezeki itu sudah ada yang mengatur. Walau saat ini begitu banyak bermunculan para pedagang goreng, Upik tidak takut merasa tersaingi. ‘’Undang-undang jualan kan ada. Mau jual murah atau mahal kan terserah kita. Rezeki kita kan masing-masing, jadi kalau rezeki kita ada pasti ada saja yang datang’’, katanya.
Dalam berjualan bagi Upik pun arus memiliki kesabaran yang ekstra. Setiap hari ia bertemu dengan orang-orang berbeda yang memiliki karakter yang berbeda pula. Di sinila Upik arus bisa melayani mereka. ‘’Kita harus sabar, kadang ada saja pembeli yang aneh-aneh, tapi kita arus tetap sabar, kalau kita emosi nanti pelanggan bisa lari’’, katan Upik.
Upik merasakan perekonomian keluarganya jauh berubah setelah ia berjualan oreng. Ia sangat bersyukur karena dengan berjualan goreng ia dapat memenui kebutuan keluarganya. ‘’dengan berjualan goreng ini jauh lebih besar membantu kehidupan keluarga. Karena satu-satunya pendapat keluarga kan dengan berjualan goreng’’, tuturnya.
Untuk saat ini Upik belum ada rencana untuk beralih profesi. Namun jika suatu saat ada pekerjaan yang lebih baik, mengapa tidak bagi Upik untuk tidak beralih. Namun, Upik tak pernah berhenti berharap. Ia mengarapkan penjualan gorengnya saat ini dapat lebih meningkat dan maju. ‘’Harapan saya semoga penjualan saya lebih meningkat dan lebih maju. Kalau penjualan meningkat tentu kebutuan keluarga saya juga bisa saya penuhi’’, harap Upik.
Lain halnya dengan Agusniati, Nurfatimah, wanita kelahiran Pekanbaru, 30 september 1968 ini mengisi waktu luangnya untuk mengajar anak-anak di sala satu Sekola Luar Biasa (SLB). Pat, begitu wanita ini akrab disapa, mengaku bahwa sebelumnya ia tidak memiliki niat untuk mengajar di sekolah luar biasa, namun karena ada kesempatan untuk menerima pengajar di SLB, ia pun memberanikan diri untuk mendaftar dan akirnya diterima. ‘’Dulu saya tidak ada niat untuk mengajar di SLB, tapi karena ada kesempatan dari pemerintah karena kebetulan ada penerimaan gutu untuk mengajar di sekolah luar biasa, ya saya coba dan alhamdulillah saya diterima’’, ungkap wanita yang menamatkan kuliah di Fakultas Tarbiah, IAIN Imam Bonjol Padang ini.
Disinggung mengenai pengalaman mengajarnya, Pat mengaku belum pernah memiliki pengalaman mengajar. Pat yang memiliki lima orang anak dahulunya hanya sebagai ibu rumah tangga saja.hal ini karena Pat memiliki lima orang anak yang harus ia besarkan. Namun, setelah anak-anaknya tumbuh besar, Pat memberanikan diri untuk terjun ke dunia pendidikan..
Terjun untuk mengajar anak-anak yang tidak seberuntung anak normal tentunya memiliki trik khusus tersendiri. Apalagi bagi Pat yang baru pertama kali mengajar. ‘’Pertamanya saya sangat deg-degan, mungkin hampir sama deg-degannya dengan mahasiswa yang mau ujian skripsi. Saya sempat berfikir, ‘bisa ngga ya, apa nanti mereka melawan ngga ya sama saya’. Lalu saya melihat teman-teman yang telah terbiasa mengajar anak-anak itu. Ada yang membujuk dengan permen, ada yang memegang kayu kalau anak-anak itu suka lari-lari kesana-kemari, ya saya tiru juga seperti itu, dan alhamdulillah saya dapat menyesuaikan diri’’, tutur Pat panjang lebar.
Tak dapat di pungkiri baawa dalam mengurus anak-anak SLB itu sulit. Tentunya dalam mengurusnya anak-anak SLB ini berbeda dengan anak-anak normal lainnya, baik dalam hal kebiasaan, maupun cara belajarnya, dalam segala hal. Mereka memiliki tingka laku yang aneh. Namun bagi Pat, mengajar di SLB banginya cukup mengasyikkan.
Tak ada kesulitan yang berarti bagi Pat dalam mengajar di SLB, namun kejenuhan kadang datang memhampirinya. ‘’Kesulitan tidak ada, hanya sedikit jenuh saja. Hal ini karena kadang anak-anak SLB itu jarang mengalami perubaan yang cepat. Kita harus mengajarkan yang itu-itu saja, jadi jenuh juga. Contohnya saja kalau lagi bosan waktu materi matematika, sudah saya ajarkan sedemikian rupa tetapi anak-anak tidak nangkap juga, ya saya bawa mereka bernyanyi, kadang kami goyang-goyang di dalam kelas’’, kekehnya.
Pat yang kesehariannya disibukkan untuk mengajar anak-anak yang kurang beruntung dalam hal fisik dan mental ternyata tidak lalai dalam mengurus keluarga yang sangat ia cintai. Baginya, telaten membagi waktu adalah kunci utamanya. ‘’kita harus pandai-pandai bagi waktu. Yang terpenting bagi saya adala bangun pagi. Saya bangun setiap pagi, setelah sholat subuh saya beres-beres rumah, masak, dan bersih-bersih. Kalau urusan rumah telah selesai, bawaan di sekolah juga bakalan tenang. Tapi kalau di rumah saja tidak beres, bawaan di sekolah pun jadi tidak mood.
Pat mengaku bahwa anak-anaknya juga tidak kesulitan dalam menjalani aktifitas mereka masing-masing walau Pat sendiri cukup sibuk. ‘’Walau saya cukup sibuk, tetapi dari anak-anak saya sendiri tidak ada masalah, mungkin karena anak saya banyak, dan saya mengajarkan disiplin dari kecil kepada mereka, mereka sudah terbiasa melakukan tugas-tugas mereka sendiri. Kalau saya sibuk pagi-pagi beres rumah, mereka juga sibuk mengurus persiapan mereka untuk sekolah’’, kata Pat.
Telaten mengurus keuangan
Keungan adalah salah satu factor penting dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Berbicara mengenai dana, Pat mengaku bawa cukup kesulitan dalam memikirkan keuangan. ‘’Kalau dana tentu kesulitan sekali karena anak saya banyak banyak. Pengasilan guru honor kan tidak seberapa. Tapi alamdulillah bisa tercukupi walau tidask berlebihan’’, tutur Pat.
‘’Sebenarnya kalau dipikir-pikir memang bisa pusing kita, apalagi sekarang beras mahal, minyak mahal, cabe apa lagi. Tapi kita kembali lagi kepada agama, yakin ajalah bahwa di dalam hidup ini rezeki itu pasti ada. Yakin saja Tuhan akan memberi, nanti pasti ada saja rezeki yang datang’’, tambanya kemudian.
Begitu juga dengan Upik. Cabe yang beberapa waktu lalu menanjak naik membuatnya kewalahan dalam menjual gorengnya. Sempat beberapa kali Upik tidak menyediakan cabe untuk goreng-gorengnya. ‘’Untuk bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat goreng saya biasanya beli dalam jumlah banyak, jadi harganya bisa sedikit lebih murah. Tapi, untuk cabe kemarin-kemarin saya sempat tidak menyediakan cabe, karena harga cabe mahal sekali’’, tandasnya.
Dalam memenui kebutuhan anaknya, Upik tidak terlalu memusingkannya karena anak pertamanya telah bekerja dan anak keduanya yang masih duduk di kelas dua SLTP di asuh oleh kedua orang tua Upik di kampung. Namun, Upik tetap mengirimkan uang apabila anaknya membutuhkan uang tersebut. ‘’Alhamdullillah anak saya yang pertama sudah bekerja, kalau yang kedua dia sama neneknya di kampung, jadi saya mengirimkannya uang kalau dia membutuhkannya, kadang=kadang kalau dia lagi liburan, saya mengirimkannya sekitar lima ratus ribu ruipiah.
Harapan sang ibu
Setiap ibu pasti mengharapkan yang terbaik untuk anaknya. Tak terkecuali bagi Pat dan Agusniati. Bagi Pat, ia mengarapkan anak-anaknya dapat tumbuh menjadi anak-anak yang baik. ‘’Saya berharap semoga anak-anak saya sukses dalam pendidikan, memiliki kepribadian, dan yang terpenting memiliki akhlak yang sesuai dengan ajaran Allah SWT’’, harapnya.
Dalam al pendidikan contohnya, Pat mengharapkan anak-aanaknya dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, dan jika bisa arus lebih dari dirinya. ‘’Saya mengharapakan anak-anak saya suatu saat dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Kalau bisa lebih dari saya. Saya kan S1, kalau bisa mereka S2, kata Pat.
Sama halnya dengan Upik. Ibu yang memiliki dua orang anak ini mengarapkan kedua anaknya dapat mandiri. Walau saat ini Agusniati lebih memfokuskan kepada anak perempuannya yang sedang bersekolah, ia tetap berharap bawa suatu saat anaknya dapat menjadi orang sukses. ‘’Yang saya pikirkan sekrang anak saya yang nomor dua, saya mengharap agar dia dapat terus melanjutkan sekolahnya. Kalau yang pertama alhamdulillah dia telah bekerja, jadi tidak terlalu pusing memikirkannya. Hanya saja saat ini dia kan bekerja dengan orang, saya mengharapkan suatu saat dia dapat berdiri sendiri,membuka usaha sendiri’’, harap Agusniati.
Hanya memberi, tak harap kembali, begitulah kuatnya pengorbanan seorang ibu. Bagi mereka, kebahagian anak adalah hal yang paling utama. Tak ada kasih yang abadi selain kasih sayang seorang ibu***