Baju bekas atau yang lebih dikenal dengan sebutan “baju PJ” saat ini menjadi barang andalan diberbagai kalangan di masyarakat. Mereka yang memilih barang-barang ini mempunyai berbagai alasan yang beragam, ada yang menganggap barang impor tersebut memiliki kualitas yang lebih bagus, ada juga yang ingin memilikinya karena harga barang-barang tersebut lebih terjangkau. Lalu, apa hebatnya baju bekas itu? Mengapa barang tersebut merambah kemasyarakat tanpa memandang usia?
Seringkali dijumpai produk impor lebih murah dibandingkan produk lokal sehingga banyak masyrakat yang lebih memilih produk impor tersebut. Kenapa produk kita lebih mahal? Beberapa orang pintar beralasan karena tingginya ongkos produksi yang melibatkan pungutan liar dan karena upah buruh di indonesia lebih mahal dibandingkan upah buruh di negara-negara semacam Vietnam atau Cina. Sayangnya di bidang usaha konveksi ada gejala lain yang perlu diperhatikan. Sekarang semakin berkembang luas fenomena pakaian bekas!
Sejak masa reformasi atau sekitar tahun 1997 - saat krisis moneter, pakaian-pakaian bekas masuk ke indonesia, dan di saat itulah masyarakat Indonesia lebih memilih membeli pakaian bekas yang banyak dijual bebas di mana-mana. Kemunculan pasar baju bekas ini tidak berjalan merata. Pasar baju bekas di Sumatera, Batam, Kalimantan, dan Sulawesi misalnya, lebih dulu muncul daripada di Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya dan sekitarnya. Untuk di Provinsi Riau sendiri, menjamurnya baju bekas terlebih dahulu di mulai di daerah Tembilahan dan baru berangsur-angsur ke daerah lainnya termasuk Kota pekanbaru.
Walaupun ada pelarangan baju bekas impor masuk ke Indonesia, namun penyelundupan pakaian bekas masih tetap marak. Pakaian bekas itu rata-rata memang masih layak pakai, seringkali berasal dari Singapura atau Malaysia, dan harganya memang murah dibandingkan pakaian baru. Jenis barang yang dijual produk ini pun bermacam-macam, mulai dari sepatu, sendal, kaos, jaket, ikat pinggal, celana panjang, sampai selimut-selimut tebal dan bed cover dan bahkan underware (pakaian dalam).
Barang – barang yang berkualitas yang didatangkan langsung dari luar negeri ini membuat seluruh lapisan masyarakat lebih memlih untuk menggunakannya. Apalgi barang-barang tersebut ditawarkan dengan harga yang murah. Di pekanbaru saja, terdapat pasar khusus yang menjual pakaian-pakaian bekas ini. Pasar Senapelan, atau yang lebih dikenal dengan pasar kodim merupakan tempat yang tidak asing lagi bagi para “pencinta” barang-barang bekas ini. Di kios-kios yang berukuran 3 x 4 meter itulah para pedagang baju bekas mengais rezeki untuk menjajakan barang dagangannya dan ditempat itu pulalah para pembeli seakan terbius oleh keunikan dan keragaman pakaian-pakaian yang terkadang di Indonesia saja model pakaiannya belum ada. Aroma khas pakaian bekas pun telah tercium ketika kita menginjakkan kaki ditempat tersebut.
Walaupun para pedagang mencari rezeki dengan jalan halal, memperjual belikan baju bekas inipun tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi barang-barang bekas ini didatangkan secara ilegal dan telah dilarang oleh pemerintah Indonesia dalam peredarannya. Hal ini diungkap oleh ibu Ida (40th), salah satu penjual baju bekas di pasar Kodim. ‘’Dari dulu memang barang-barang bekas ini tidak boleh masuk ke Indonesia. Tapi ya mau bagaimana lagi, orang-orang juga mau cari makan untuk keluarganya, kalau barang bekas ini dilarang, kami mau makan pake apa,” ungkap ibu yang telah empat tahun berprofesi sebagai pedagang pakaian bekas ini kepada Tekad, Sabtu (10/04) lalu.
Kejelian dan kecermatan dalam memperhitungkan untung rugipun harus tinggi. Jika tidak, para pedagang bisa mengalami kerugian yang cukup besar. Hal ini dikarenakan modal yang dikeluarkan untuk membeli barang bekas ini tidak sedikit. Satu bal baju yang berisi 300 helai baju saja harganya bisa mencapai 3juta/bal itupun tidak semuanya dalam kondisi bagus. Kadang penjual menumukan baju dalam kodisi rusak dan tidak layak pakai. Khusus untuk pakaian dalam, modal awal yang ditawarkan sangat tinggi. Satu bal bra atau celana dalam saja modalnya bisa mencapai 8juta/bal, sedangkan untuk celana short modalnya bisa mencapai 10-12juta/bal. Ibu Emi (38th) yang juga merupakan salah satu pedagang barang bekas khusus pakaian dalam mengungkapkan mahalnya modal pakaian dalam bekas itu disebabkan karena barang-barang tersebut semakin sulit di dapat. ‘’Barang-barang bekas ini kan memang sulit masuk ke indonesia, sedangkan baju-baju saja sudah susah masuknya, apalagi pakaian dalam. Makanya pakaian-pakaian dalam ini harganya mahal, di samping kualitasnya yang bagus,” ungkapnya kepada Tekad Sabtu (10/04) lalu.
Para peminat pakaian dalam ini pun cukup banyak. Hal ini karena kualitas yang ditawarkan oleh pakaian bekas ini sangat bagus bila dibanding dengan produk indonesia. Hal ini juga diungkap oleh ibu Ida, ia mengakui lebih suka memakai pakaian dalam bekas dibanding dengan pakaian dalam yang baru. ‘’Saya suka memakai pakaian dalam bekas ini karena bahannya bagus dan tahan lama, tipis tapi karet. Sejak saya mengenal adanya pakaian dalam bekas, saya mulai membeli pakaian dalam bekas tersebut dan bahkan saya tidak perlu membelinya sering-sering. Saya cukup membeli pakaian dalam itu sekali stahun, itu saja kualitasnya hingga saat ini masih bagus, coba kalo yang buatan indonesia, baru dipakai saja mudah melar,” ungkap ibu itu panjang lebar.
Trend Anak MudaBaju bekas tercatat ikut membentuk gaya subkultur anak muda yang khusus dan unik. Selain merefleksikan posisi keuangan anak-anak muda yang terbatas, ia juga menggambarkan gairah akan gaya pakaian-pakaian retro yang otentik dan tidak ada kembarannya. Jenis baju yang dijual di toko-toko baju bekas biasanya berjumlah terbatas atau malah hanya tersedia sebanyak satu buah saja sehingga terkesan lebih personal. Efek personalitas ini yang tidak bisa didapat jika kita membeli baju di mall atau supermarket karena baju-baju yang dijual di sana rata-rata dibuat secara massal. Pengguna pakaian bekas ini mengaku tidak ada masalah dalam memakainya. Hal ini diungkapkan oleh Aji dan Harry Alfarisi, mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR). Mereka mengakui bahwa telah lama menggunakan pakaian bekas karena kualitas dan harganya yang sangat miring dan cocok untuk kantong anak muda. Mereka menyebut pakaian bekas itu dengan istilah “baju rombeng”. ‘’Baju rombeng itu kan baju luar, didatangkan dari luar dan kualitasnya pun lebih bagus dari pada buatan dalam negeri. Apalagi kalo kita udah tahu merk-merk terkenal yang terkadang juga terdapat dalam baju rombeng tersebut. Kalo kita beli baru harganya bisa mencapai 300 ribu, disana bisa kita dapat dengan harga 40 ribu”, ungkap mereka kepada Tekad, Kamis (15/04) lalu.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Nia, Mahasiswa Universitas Riau (UR). Cewek yang baru pertama kali membeli pakaian bekas karena baru tahu adanya pakaian bekas dijual di Pekanbaru ini mengaku bahwa ia mulai tertarik untuk membeli baju ketika ia diajak oleh teman-temannya dan ia menemukan bahwa baju bekas memiliki harga dan kualitas baju tersebut cukup bagus. ‘’Harga baju-bajunya murah, kualitasnya juga boleh, high kuality lah, enak dipake juga. Untuk kedepan nggak ada salahnya saya mulai menggunakan baju bekas itu, ya, kalo ada yang mau ngajakin saya kesana dan ada yang cocok, kenapa tidak,’’ ungkapnya kepada Tekad, Sabtu (17/04) lalu.
Yang namanya baju bekas tetap baju bekas. Baju yang telah dipakai oleh orang-orang sebelumnya yang tidak jelas bagaimana kondisinya, apakah mereka bersih, atau terbebas dari segala macam penyakit. Apalagi barang-barang tersebut didatangkan dari luar yang sama-sama kita ketahui bahwa pergaulan disana sangat bebas. Jika tidak hati-hati bisa saja para pengguna baju bekas akan terkena berbagai macam penyakit kulit. Untuk itu, perlu adanya ketelitian dari para konsumen baju bekas untuk meminimalisir akan resiko tersebut. Hal ini juga diungkapkan oleh Aji dan Harry. ‘’kalo mikirin bahaya kesehatan, itu memang sudah resiko bagi pengguna pakaian bekas, tapi kita kan bisa mensiasatinya. Setelah kita membeli pakaian bekas, kita rendam saja pakaian-pakaian tersebut ke dalam air panas beberapa menit, setelah itu pakaian-pakian tersebut kita bawa ke loundry untuk dicuci”, papar mereka.
Sejauh ini, kebanyakan anak-anak muda yang menggunakan pakaian bekas kadang bersikap malu-malu jika ketahuan membeli pakaian bekas tersebut. Sikap malu-malu dari konsumen baju bekas di Indonesia ini juga didorong oleh respon sebagian besar masyarakat yang menganggap baju-baju bekas adalah sesuatu yang menjijikkan karena tidak jelas asal-usul sejarahnya, juga berkesan kumuh karena dibeli di tempat-tempat yang sempit penuh sesak dengan karung-karung isi baju bekas bertumpuk-tumpuk.
Namun, lain halnya dengan Harry, anak muda asal Tembilahan yang dari masa kecilnya ini memang telah menggunakan pakaian bekas tidak segan-segan mengaku kepada teman-temannya jika ia merupakan salah satu konsumen pemakai baju bekas. ‘’Saya ngaku saja kalo saya pemakai pakaian bekas, kadang malahan saya bangga, ngapain mesti malu, seharusnya bangga bisa make barang luar. Saya bangga karena saya bisa membeli suatu barang tertentu dengan harga murah sedangkan orang lain membeli dengan harga mahal padahal kualitasnya sama,” paparnya.
Lain orang, lain juga prinsipnya. Walaupun banyak anak-anak muda yang senang memakai baju bekas, ada juga sebagian anak muda yang enggan bahkan tidak mau menggunakan baju bekas. Hal ini diungkapkan oleh Triani Merdeka Wati dan Zalikha Devamia. Mereka mengaku tidak mau menggunakan baju bekas karena tidak jelas asal-usulnya dan mereka lebih memilih membeli baju baru. “Selain itu bekas orang, kita kan juga nggak tau orang yang sebelumnya punya baju itu apakah ada mengidap penyakit kulit atau sebagainya, walau udah dicuci atau udah dilaundry segala macem lah, kuman-kuman itu belum tentu bersih dipakaiannya dan tetap aja nggak higienis. Biarin deh beli baju baru, ada juga kok baju baru yang harganya 20ribu-30ribu, dari pada second,” ungkap Mahasiswi Komunikasi ’09 Universeitas Riau ini kepada Tekad, Sabtu (17/04) lalu.
Tetap BeredarSebenarnya, dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 220 juta, pasar dalam negeri sebenarnya sangat potensial. Namun, persaingan untuk masuk ke pasar menjadi lebih sulit karena harus bersaing dengan pakaian bekas impor. Salah satu pemicu keberadaan pakaian bekas impor itu adalah kondisi ekonomi yang sulit. Daya beli masyarakat menurun sehingga mereka lebih memilih baju bekas dengan harga murah ketimbang yang baru. Padahal, jaminan kesehatan baju bekas itu masih dipertanyakan.
Ditemui di Kantor Dinas Perindutrian dan Perdagangan (Disperindag), Megah Miko, SE, M.Si menyatakan bahwa fenomena baju bekas yang melanda masyarakat indonesia pada umumnya dan pekanbaru khususnya disebabkan karena perekonomian masyarakat masih lemah. ‘’Semua ini tidak bisa kita hindari, hal tersebut karena perekonomian kita masih lemah, sedangkan di Asia saja income negara kita terrmasuk rendah dan hal tersebut berdampak kepada daya beli masyarakat yang tidak mampu membeli barang-barang yang bermerek dan berkualitas, makanya mereka lebih memilih barang-barang bekas itu.,”ungkapnya.
Berbicara mengenai hukum, Megah belum menemukan hukum yang real yang mengatur perdagangan baju bekas ini. “Hingga saat ini saya belum menemukan peraturan yang membahas mengenai perdagangan baju bekas ini, secara nyata saya belum melihatnya,” ungkap Seksi Usaha Perdagangan dan Metrologi ini.
Pemerintah daerah harus lebih tegas dalam mengawasi peredaran pakaian bekas tersebut. Memang pakaian bekas itu bisa menciptakan peluang ekonomi bagi sekelompok orang, namun bagi industri dampaknya bisa berupa pemutusan hubungan kerja. Selain itu, keberadaan baju bekaspun dapat menyebarkan penyakit kepada konsumennya, baik itu penyakit panu, kista, dan penyakit kulit lainnya. Jika ingin serius menggarap pasar lokal, hendaknya para pengusaha tekstil harus lebih fokus pada peningkatan kualitas barang. ‘’Selama ini pemerintah terlalu melindungi pengusaha dalam negeri dengan mengadakan subsidi dan lain sebagainya sehingga para pengusaha tidak kreatif dan selalu mengharapkan uluran tangan pemerintah. Para pengusaha seharusnya lebih kompetitif, itu kunci utamanya,” kata Megah.
Dalam situasi krisis seperti sekarang, pengusaha tekstil dituntut harus pandai dalam mencari peluang pasar. Selain tetap berupaya melakukan ekspor, mereka juga harus melirik pasar tekstil dalam negeri. Model pakaian pun harus disesuaikan dengan selera masyarakat. Sehingga pasar lokal tidak dilindas oleh produk-produk bekas negara tetangga yang tentu saja dapat memalukan bahkan menjatuhkan harkat dan martabat bangsa.
****